Bismillahirrahmanirrahim.....
Sore hari di penghujung 1433H itu, tiba-tiba
aku teringat pada satu sosok yang nampaknya tidak asing lagi bagiku. F
Asy-Syabani. Itulah nama dari seorang ikhwan yang raut serta auranya hilir
mudik dalam benakku. Nama yang sangat indah menurutku, bahkan ‘kegagahan’ nama
ini terpatri begitu saja dalam ingatanku. Nama yang sangat religius, walau
sejujurnya aku tidak tahu arti nama ini secara harfiah tapi yang jelas, indah
untuk di dengar dan diucapkan.
Siapa F Asy-Syabani bagiku? Sebegitu
spesialnyakah ia sampai-sampai tiada terduga aku terkenang padanya? Ia adalah
teman sekelasku dulu, namun aku lupa berpa tahun kami menjadi cllassmate.
Apakah dari kelas 8b sampai 9G, atau 9G saja? Perasaanku berkata bahwa kami 2
tahun berturut-turut mendiami kelas yang sama.
Apa yang telah Fahmi lakukan padaku
sampai-sampai aku begitu penasaran kepadanya? Jawabannya adalah: NOTHlNG. Dia
tidak pernah melakukan apapun kepadaku –dalam arti yang sebenarnya-. Selama
kami menjadi penduduk kelas yang sama, rasa-rasanya antara kami memang tidak
pernah terjadi interaksi lisan. Yang terjadi hanyalah interaksi fisik berupa
“pengamatan terselubung” yang kulakukan sepihak. Ya, sepihak...
Sebentar, sekilas aku dapat mengingat
keberadaannya di 8B. Itu artinya kami di satukelaskan 2 tahun berturut-turut.
Sedikit sekali memori yang ku ingat tentangnya, secuil saja ingatanku yang
merujuk pada ikhwan yang satu ini. Ya, alasannya karena dia tidak pernah
‘bertingkah’ layaknya remaja laki-laki seusianya.dia berbeda, sangat berbeda.
Tingginya saat itu mungkin ±150 cm, berkulit putih bersih, agak gendut, pipi yang chubby,
punggungnya sedikit bungkuk karena dia selalu menunduk. Dimanapun, kapanpun.
Hanya saja aku tak tahu warna bola mata dan struktur giginya, karena itu tadi,
dia selalu menundukkan pandangannya. Sehingga patutlah jika kusebut dia sebagai
seorang ikhwan yang menjaga pandangannya serta lisannya.
Selama 2 tahun itu rasanya aku tak pernah
melihat seulas garis terapit diantara pipi chubbynya. Dan bisa kupastikan pula
aku tak pernah melihatnya tertawa. Dia berbeda, sangat berbeda..
Dia tak pernah hilir mudik bergerombol atau
berkerumun dnegan remaja seusianya yang tengah asyik bereksperimen mencoba
sesuatu hal yang baru. Dia tak pernah berinteraksi layaknya seorang makhluk
sosial. Dia tidak pernah mengikuti perkembangan terbaru dari kabar serta
kegiatan terhangat yang tengah terjadi di sekeliling. Dia berbeda, sangat
berbeda....
Dan hal lainnya yang membuatku merasa ‘nakal’
karena telah memikirkannya adalah : apakah ikhwan yang satu ini memiliki ‘rasa’
yang hakikatnya terselip pada setiap gumpal daging yang ada di balik dada
manusia, especially terhadap lawan jenis? Disaat orang lain asyik mencicipi
“manisnya” masa remaja dan segala hal yang terasa dalam segumpal daging yang
tersembunyi di balik dada, ia nampaknya flat saja. Di saat remaja sebaya kami
galau karena rasa yang belum berani untuk diungkapkan pada seseorang yang
notabenenya ingin kita akuisisi, nampak dengan kontras bahwa ikhwan yang satu
ini damai-damai saja . disaat kaum adam sebayanya gencar merancang strategi
untuk ‘menembak’ target, ikhwan ini ya biasa saja.. tak banyak tingkah. Dan
disaat para remaja pria terobsesi dengan cap ‘playboy’ yang dengan bangga
melekat pada mereka jika mereka memiliki pacar lebih dari satu atau setidaknya
punya banyak mantan, ikhwan ini ya biasa saja, sangat jauh dari kesan itu. He
has his own world ! makanya jangan aneh deh kalau aku menyangka ikhwan ini jelmaan
dari zombie. Movementnya sederhana dan cenderung statis. Tampak padanya sikap
anti sosial, dia nyaman dengan dunianya sendiri.
“what makes you different,makes you beautiful”
Ungkapan yang sangat pas untuk sosoknya.
You look so different in these eyes of mine. –tanpa maksud apapun-. Aku salut
plus kagum sama diai. Beruntunglah orang-orang yang pernah berinteraksi secara
directly dengannya. Suaranya sangatlah exclusive, kalimatnya sangat limited.
Bisa kupastikan hanya beberapa saja yang pernah berinteraksi secara langsung dengannya. Selebihnya ikhwan ini lebih
suka duduk di bangkunya yang selalu di pojokan, menunduk, mencondongkan
badannya dan membisu.
Sesekali aku melihatnya mengusap pundaknya.
Pastilah ia merasa pegal dan ngilu di sepanjang tulang belakangnya. Sepatu
warior semata kaki, kaus kaki putih yang menyembul sedikit dari balik kerah
sepatu, seragam putih biru yang rapih, tas ransel hitam,topi smp dan dasi yang
selalu ia kenakan, nampaknya secara otomatis menjadikannya icon dari siswa
teladan dalam hal berpakaian.
Terakhir kudengar bahwa dia melanjutkan
pendidikan sederajat SMA di pesantren, nyantri. Itu juga ‘katanya’. Simpang
siur, itulah kabar yang selalu kudengar jika menyangkut sesuatu hal yang
berhubungan dengan ikhwan ini. Sewaktu SMP, aku tahu dan bisa merasakan bahwa dia
bukanlah partner yang baik dalam suatu hal yang dikerjakan secara berkelompok.
Sama sekali tak ada feedback yang nyata jika kami aku terlibat dialog
dengannya. Bahkan untuk memberikan isyarat berupa anggukan atau gelenganpun
rasanya Fahmi harus mengkajinya jutaan kali. Tak jarang, semua yang kami
lakukan terhadapnya adalah ‘interaksi searah’.
Diamnya selalu membuatku bingung tak kepalang.
Aku yang semasa SMP bisa dikatakan sebagai seorang aktivis yang menganut paham
‘lebih cepat lebih baik’ dan dipercaya dijadikan salah seorang tetua dalam
beberapa organisasi dan event, umumnya sudah lumrah tunjuk sana-sini (tanpa
ongkang-ongkang kaki), nampaknya tak berkutik jika telah dihadapkan dengan ikhwan yang satu ini. Aku takut jika apapun yang kuperintahkan atau ku arahkan tak sesuai
dengannya, pikirannya, perasaannya. Dia berbeda, sangat berbeda...
Kalaupun dia benar masuk pesantren, sisi
baik yang dapat kulihat adalah: ia memenuhi kriteria sebagai seorang muslim
yang baik, yang selalu menjaga lisannya serta pandangannya. Diam adalah emas 24
karat dan mahkota bertahta permata baginya. Sisi baik lainnya adalah : pasti
lingkungan pesantren sangat suitable untuk kepribadiannya yang lebih suka
‘bertafakur’ dan menyepi sendiri. Namun
sisi negatifnya, aku sangat mencemaskan perkembangan verbal dia dan perkembangan
sosialnya. Ia cenderung mengabaikan Habluminannas. Wallahualam ....
This is the last chapter,
Dear F Asy-Syabani,
Coretan ini murni kekagumanku pada
kepribadianmu yang satu diantara puluhan ribu,
Diammu menjadikanmu istimewa, bukan saja di
mataku tapi pastinya juga di mata yang lain,
Sikap yang seharusnya kutiru, karena itu
anjuran dalam agama islam yang sempurna, menjaga pandangan, menjaga lisan.
Dear, F Asy-Syabani,
Diammu tak pernah bisa kupecahkan. Diammu
misteri bagiku. Semoga suatu saat nanti aku bisa berjumpa denganmu, kawan
SMPku....
Kuselipkan namamu dalam doaku agar Allah
senantiasa memeliharamu dan kepribadianmu. Teruslah berada di jalan yang telah
Allah pilihkan spesial untukmu...
Salam ukhuwah, wahai ikhwan yang menjaga lisan
dan pandangannya ...
#1 Muharram 1434 H, 8:45 am
Komentar
Posting Komentar