Labirin


Belajar tersenyum untuk diri sendiri. nampaknya itu adalah footnote yang tak lupa selalu kusematkan dalam buku bersampul merah muda yang kusebut diary. agak lebay mungkin ya terdengarnya, tapi itulah kenyataan.
awalnya aku ragu, harus kutulis dari mana cerita ini. jika saja semua kejadian bisa di convert kedalam bentuk gelembung, pasti aku tak perlu susah susah memikirkan prolog seperti yang tengah kulakukan saat ini. aku hanya tinggal memasukkannya kedalam sebuah toples. beres.
sejenak aku merebahkan diri, membuat playlist berisi album Sabrina. aku termenung. Beberapa waktu pasca ujian, aku tak seperti orang kebanyakan, yang memilih bersenang-senang menikmati udara bebas pasca dicekoki segunung materi dalam rangka menyambut hajatan per 3 tahunan -ujian nasional-. semua orang nampak bahagia dengan keluarnya mereka dari labirin yang disebut 'sekolah'. Nampaknya, aku tak begitu. Disaat orang lain tertawa renyah karena telah menemukan titik akhir, aku malah sebaliknya. mencari titik awal dari sebuah labirin lain. Sakit jiwa ? no, i just want to discover my self ! terdengar keren, namun itu malah menjadi bumerang di kemudian hari.

Beberapa hari pasca ujian rampung, aku dihadapkan dengan tekanan lain. Tekanan untuk segera memutuskan akan dibawa kemana arah hidupku. Hanya tersenyum nanar ketika mendengar teman temanku telah memiliki draft lengkap untuk kehidupan selanjutnya. Tak dapat kupungkiri, iri mulai menari nari dalam benakku, aku merasa bahwa hanya akulah yang dirancang untuk 'buntu' disini, di titik ini. Ada beberapa hal yang kuputuskan untuk kutunda, mengingat situasi yang belum mendukung dan sangat tidak memungkinkan. kucoba matangkan pilihan satu satunya yang tersedia. Memasuki kehidupan yang sebenarnya.

Aku beruntung, di saat awal aku menapakkan kakiku di dunia yang katanya 'tiada ampun' ini, aku punya banyak pembimbing yang siap membantuku, namun segalanya berubah ketika negara api menyerang #Lohhh ??. Ya semuanya berubah ketika ada sesuatu yang bertambah. tadinya yang kutahu duniaku ini lembut, warna-warni dan jernih. Setiap masalah yang ada kuanggap sebagai sentilan kapas yang berterbangan menyapaku, kubereskan tanpa effort yang 'wow'.

Teringat perkataan seseorang, yang kupanggil Bruno : di dunia yang tengah kau pijak ini, tak ada satupun yang bisa kau percaya, semuanya berkonspirasi untuk menjadi yang terbaik dan tentunya menghalalkan segala cara. kau paham ?
saat itu, aku asyik saja menyeruput teh botol dingin, tak terlalu menyimpan perhatian pada petuahnya. tapi kini, kurasa kau benar, Brun...

bukan saja paham, tapi seketika aku sudah ada di posisi yang dia kiaskan.Tidak semua senyum tulus untuk membuatmu bahagia, kebanyakan hanya membuatmu terlena, karena kenyataannya, senyum itu hanya candu menjelang ajal ....
aku mulai kehilangan 'tangan-tangan' yang menggenggam, 'pelukan' yang mendamaikan dan senyuman dalam arti 'baik-baik saja'.Aku kehilangan arah, terlalu mentuhankan dunia adalah suatu kesalahan yang fatal! menangis dan marah pada Tuhan, itulah yang dulu kulakukan. Tindakan yang sangat bodoh bukan?
dan akupun dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Lanjut atau Henti. 

Aku terlalu kalap sampai aku lupa kalau aku punya Tuhan yang Maha Besar. kuadukan semuanya padaNya, mencoba berbaikan denganNya, mencoba berbaikan dengan keadaan, walau sulit tetap harus ku retas. Aku dibimbing pada satu jalan dimana aku memutar dan melawan arus. Aku bimbang, sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengambil satu langkah yang kuyakini, adalah jalan keluar yang tak henti kuminta ....

#1

Komentar