sorry, i couldnt say it directly ...



Assalamualaikum, ya akhi.. itukah engkau?
Itulah mimpiku untuk menyambutmu kelak di beranda rumah, namun apa daya, hati ini telah terlanjur retak dan mimpiku telah tumpah menjadi puing-puing debu yang siap diredupkan gerimis saat aku tahu, kau telah memiliki pilihan lain. Aku tersenyum nanar.
Nyaris 4 tahun aku terperangkap dalam penantian panjang yang hanya merupakan angan-angan bagiku, heu heu ... ternyata selama ini aku hanya berhalusinasi.. tapi, tak mudah untuk berucap “Ya sudahlah, aku merelakannya”. Ada setitik harap yang telah terakulmulasi menjadi pola yang memahatkan namamu disini, jauh di dalam palung hati. Lagi-lagi aku tersenyum, sangat nanar...

Tapi sekarang, mau tidak mau aku harus tersadar dan membuka mataku lebar, serta menghadapi realita dengan senyum tulus. Walau hati tak henti bertanya “mengapa , mengapa, mengapa?”
Ini bukanlah salah keadaan atau kealpaan dalam goresan takdir, aku sendiri yang meminta pada Tuhan agar dijauhkan dari orang yang menabur asa, menyemai rasa namun tak ingin menuai itu semua. Dan Tuhanpun menunjukannya padaku, dengan caraNya yang maha indah, maha sempurna.

Akhi, terimakasih ya.... darimu aku menemukan arti kata ‘malu’ .
Dulu kau hanya memendam ‘rasa’ kepadaku, kau tak berani mengungkapkannya dan tak sempat mengutarakannya hingga kita berpisah di gerbang SMP, karena kau memelihara rasa ‘malu’ dalam hatimu, karena sesungguhnya malu itu adalah sahabat karib ‘iman’. Dan kini, aku tak hanya memelihara malu dalam qalbuku, tapi akan kujadikan sebagai mahkota yang menghiasiku di hadapanNya.

Akhi, terimakasih ya....darimu aku menemukan arti kata ‘tulus’ .
Ya, ketulusanmu dalam ‘menyukaiku’ kuarasa telah menjadikannya cukup, sebagai sesuatu yang pantas untuk kubanggakan jikalau aku mengenangnya. Bagaimana tidak, disaat aku mengabaikanmu kau masih saja membenamkan ‘rasa’ untukku walau kau tahu konsekuensi dari rasa yang tak pernah terungkapakan.

Akhi, terimakasih ya....darimu aku menemukan arti kata ‘setia’.
Ya, terpisahkan jarak dan waktu tanpa ikatan pasti dan tanpa komunikasi adalah hal yang tidaklah ringan. Walau begitu, jauh di lubuk hatiku, kau masih yang paling baik dari yang terbaik. Aku tak membuka pintu hatiku kepada siapapun yang ingin memahatkan namanya disana. Dan aku cukup hidup dari rasa yakinku, bahwa kau akan melakukan hal yang sama denganku. Ya, cukup puas dengan ekspektasi itu.

Akhi, terimakasih ya...darimu aku menemukan arti kata ‘sabar’.
Menunggu dan terombang-ambing dalam ketidakpastian hubungan dan ketidakjelasan status adalah hal yang sangat melelahkan. Bagaimana tidak, nyaris 4 tahun aku menunggumu untuk mengungkapkan rasa yang terpendam itu. Namun apa yang kutunggu, tak kunjung terjadi. Nyaris 4 tahun aku mencari jawaban pasti dari semua teka-teki yang kau beri, mmmmhhh...lebih tepatnya, teka-teki yang kurangkai sendiri sih..tapi kenyataannya, aku tak pernah bisa menemukan jawaban untuk apa yang selama ini kupertanyakan.

Akhi, terimakasih ya...darimu aku mengenal arti kata ‘prinsip’.
Allah rupanya mengasihaniku yang terkurung dalam jebakan perasaan yang sebenarnya kumainkan sendiri lewat sesuatu yang kusebut ‘harapan’. Pada suatu ketika di hari ke 25 di ramadhan 1433H, kau mengajakku untuk berbuka puasa bersama. Tak kepalang girangnya hatiku saat itu. Tanpa kutolak aku langsung mengiyakannya, walau itu berarti aku harus mengemis belas kasihan dari rekan kerjaku untuk bertukar shift kerja. Tak mengapalah, aku memprioritaskan apapun tentangmu, kala itu. Kemana kau akan membawaku untuk berbuka puasa? Ke mall kah? Resto kah? Cafe kah? Counter fast food kah? Warung kaki lima kah? Kemana? Kemana? Tanyaku meletup-letup yang berbaur dengan rasa penasaran. Namun aku terperangah saat kau membawaku menuju suatu tempat di suatu perkampungan. Kau berjalan memanduku menyusuri gang-gang sempit dan kecil yang mengular, tak terputus, tak berujung. Langkahmu terhenti di depan beranda rumah yang sempit, remang dan nampak sangat sederhana. Aku masih bertanya-tanya. Inikah tempat yang kita tuju? Seketika keraguanku pecah saat kau mengetuk pintu rumah itu dan seseorang membalas salam yang kau ucapkan. Lalu penghuni rumah yang baru saja membuka pintu tercenung melihatmu, melihatku, melihat kita berdua. Iapun mempersilahkan kita masuk.
“rupanya, ini tempat yang ingin kau tunjukkan padaku. Rupanya disinilah kita akan memberikan seluruh makanan yang tadi kita beli untuk disantap bersama” ngilu hatiku, tapi ini ngilu karena terharu, betapa kau berbeda, betapa kau tak terduga. Hufffft ... air mataku nyaris leleh.
Selepas berbuka dengan friedchicken dan cendol, kita beranjak menuju masjid. Kau shalat dengan kawanmu, dan aku shalat sendiri. Alangkah ingin kupukul dirimmu saat kau ‘mencelukiku’ dengan isyarat , bagai memanggil anak ayam saja ! sejenak kita berbincang tentang masa depan masing-masing. Aku yang memilih fokus karir dulu dan kau yang melanjutkan studi di salah satu bidang kesehatan. Iseng aku bertanya “apa kau tak takut orang yang kau sukai keburu diambil orang?” , dan sungguh malu dan lunglainya batinku saat kau menjawabnya dengan sederhana “aku sih belajar dari kakak iRMA, gak pacaran tapi langsung khitbah”.
Apa? Apa tadi katanya? Khitbah? Apa itu? Apakah sejenis lamaran? Batinku sewot. Jujur, aku asing dengan kata itu.
Ok, ok aku akan nunggu kamu, tapi....apa aku yang kelak akan kau khitbah? Nambah lagi nih penyakit hati !
Sumpah, aku ngeri kalau nanti bukan aku yang kamu pilih, aku ngeri sama kata yang baru kamu ucapin : khitbah ..

Akhi, terimakasih ya...darimu aku menemukan arti kata ‘sakit’.
4 tahun penantian, yang dibumbui dengan perbincangan yang tak pernah memberikan titik temu yang kuharapkan membuatku semakin tebal harap dan rapuh mental saja. Dan blasssssst !! cukup dengan ‘rasa penasaran’ dan waktu beberapa detik saja Allah mampu membuatku membuka mata tentangmu. Hufft... tak apalah jika kau harus menyukai atau bahkan mencintai teman sekampusmu. Itu lumrah kok, iya gak apa-apa, 
semoga kamu bahagia saja yadan langgeng bersamanya ....


Namun akhi, ada hal yang ingin sekali kuucapkan padamu,

Prinsipmu itu kujadikan format dalam langkahku. Kau benar, kau pemalu karena kau beriman, kau diam karena kau teguh pada prinsip, dan kau setidaknya telah menularkan satu hasrat yang meletup-letup. Kaffah.
Mungkin dulu aku ngeri dan sangat takut dengan kata ‘khitbah’, tapi percaya atau tidak, sekarang aku menginginkannya, sekarang aku menjadikannya sebagai suatu tujuan, dan menginginkannya terjadi di hidupku. Gak ada pacaran dulu juga gak apa-apa, asal srek dan akidah serta imannya teguh,sudah, aku menerimanya. Walaupun seandainya itu bukan kamu, tapi...its ok lah, apa yang menurutku buruk boleh jadi yang membawa banyak manfaat untukku, serta sebaliknya. Allah kan hanya akan memberi apa yang kita butuhkan. Aku berkhusnuzan padaMu saja Rabb ....

Komentar