Namanya Dandelion


Namanya Dandelion.
Perawakannya kurus tinggi dengan kepala bulat nan besar, rambutnya mengembang beruban. Dia tinggal di semak belukar, di antara rumput liar atau membaur bersama ilalang-ilalang tak bertuan. Sebenarnya ia kalah tinggi dengan teman-teman liarnya itu, ia juga kalah kuat. Tangkainya yang hijau bisa saja dipatahkan oleh 2 jemari yang iseng, yang nakal. Tapi walaupun begitu, aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya, pada dandelion yang baik hati, namun rapuh.

Namanya Dandelion.
Dia tidak tumbuh sendirian, biasanya ia berjumput, berkelompok. Biasanya ia meliuk-liuk diterpa angin, namun jika usianya telah matang, ia bukan hanya meliuk, tapi juga akan menerbangkan helai-helai mahkotanya. Putih, lembut dan pasrah. Dandelion yang malang, dia bisa apa?

Namanya Dandelion.
Hidup sunyi bersama kawanannya di suatu lahan, berkelompok membingkai lahan. Menyita tatapan setiap mata hingga enggan berpaling, terlanjur mereka terlihat indah dan menakjubkan. Mengakuisisi perhatian dengan cara yang tidak biasa, membiarkan sang angin menggugurkan bagian terindah darinya, lalu menerbangkannya ke suatu tempat. Jauh, jauh sekali.

Namanya Dandelion.
Tiba-tiba aku merindukannya. Ingin berdiri disana, diantara benda putih lembut yang menyembul genit. Ingin berada disana, menyapa setiap partikel yang siap dijemput angin. Ingin berada disana, menyentuh setiap unsur yang melekat padanya. Lalu ketika senja mulai turun, aku merebahakan diri disana, di tengah padang dandelion. Menikmati bias keemasan yang menyusup lewat keregangan sang dandelion. Mendengarkan desahan resah dandelion yang sebentar lagi diterbangkan angin. Mencium aroma senja yang memenuhi imajinasi. Merasakan hangat senja yang menyelimuti bumi.

Namanya Dandelion.
Sesaat sebelum mata terpejam, desiran angin menjamah kami. Aku dan dandelion-dandelion itu. Rupanya inilah waktunya. Aku menyaksikannya, perlahan partikel dandelion yang ringan itu melayang-layang, dilatarbelakangi langit senja yang jingga. Sempurna. Mataku enggan beranjak dari sana, aku telah jatuh cinta padanya.

Namanya Dandelion.
Dia kini tak berrambut. Hanya tinggal tangkai yang mulai berkerut, mulai gamang berdiri diatas jumput. Nampak tak indah, biasa saja. Sekarang mirip sekali dengan tetangganya, si perdu. Tapi tidak, jelas tidak sama. Perdu itu kuat dan egois, menjadi parasit mencuri nutrisi tanah terus menerus. Tidak dengan dandelion, ia hanya hidup sementara waktu sampai angin menjemput pesonanya, untuk kemudian disemai di suatu tempat. Setelah itu tugas dandelion selesai, tinggal menunggu tikaman waktu saja.

Namanya Dandelion.
Waktupun berlalu, hanya tersisa beberapa tangkai bermahkota. meliuk-liuk sedih kehilangan temannya. Begitupun aku yang sedari tadi merekam semuanya. Angin-angin itu sekarang redam, tak nampak lagi partikel putih berterbangan di sisa senja. Namun disini, dalam sepetak ruang hati, aku seakan masih dapat merasakannya. Dengan mata terpejam aku berusaha menapakkan kakiku di beberapa saat yang lalu. Ya, berhasil! Tiba-tiba aku muncul di salah satu adegan dramatis. Hanya ada aku, angin, langit senja, matahari hangat dan dandelion. Dan tanpa bisa menghindar, aku mendengar sesuatu. Ada sesuatu yang berbisik, halus dan samar. rupanya partikel dandelion mengucap selamat tinggal karena takkan pernah kembali lagi kesini. yaaaaah, rasanya aku ingin menangis saja.

Namanya Dandelion.
Terimakasih ya, kau membuatku bahagia dengan hadirmu. Merelakan partikel penuh pesonamu itu berguguran dilimbur angin musim panas. Aku ada disini, menyaksikan semuanya. Menyaksikan ketulusanmu, menyaksikan kelembutanmu dan juga menyaksikan keindahanmu. Demi Pemilik Langit Senja, aku benar-benar jatuh cinta padamu. Gelap akan segera turun, aku harus pulang. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu wahai dandelion, pada akhirnya aku akan mencintaimu seperti aku mencintaimu pada awalnya. Pada saatnya aku akan bisa menemukanmu di suatu tempat yang masih dirahasiakanNya. Walau kini kau tak nampak seperti dandelion lagi, tapi tetap.. kau adalah dandelion.

Namanya Dandelion.

Tetap Dandelion.

Dandelionku.



Komentar