Operasi Cabut Gigi Bungsu Impaksi (Odontektomi)

 Hi Teman Ibu!

Siapa yang nyasar kesini karena gigi bungsunya lagi sakit?

Atau karena udah dapat jadwal buat operasi cabut gigi bungsu?

Atau karena mau memantapkan niat untuk cabut gigi bungsu?

Yuk mari mari sini...

This time, i will share my experience.

-

Gigi bungsu itu apa sih? Nah kalian bisa baca dulu artikel tentang si gibung disini Gigi Bungsu

Di artikel ini saya akan cerita tentang pengalaman operasi cabut gigi bungsu yang impaksi atau disebut sebagai odontektomi.

Awalnya saya hanya mau periksa gigi saja karena belakangan ini sakitnya terasa sangat mengganggu. Letak gigi/gusi yang sakit ada di rahang atas pojok kiri. Karena dia cuma muncul sedikit di permukaan gusi, saya suka iseng sentuh pakai lidah tapi lama-lama merasa terganggu juga. Apalagi kalau gusinya udah sakit, beuuuuh.

Nah keluhan utamanya sebenarnya bukan karena si gibung ini erupsi secara tidak sempurna (nongol dikit doang) tapi saya sering merasa sakit kepala. Bukan pusing ya, tapi sakit kepala. Saya pikir karena ukuran minus atau silinder kacamata saya yang berubah, tapi setelah ke dokter mata dan ganti resep kacamatapun sakit kepala hebat ini tidak mau enyah juga. Huhu...

Mulailah browsing tentang penyebab sakit kepala hebat, diantara penyebabnya adalah impaksi gigi bungsu. Lho, kok bisa? Bisa dong, kan ada banyak saraf di sekitar gigi yang nyambung kemana-mana, bisa ke jantung, otak, dll. Makin mantaplah saya untuk memeriksakan gigi, berharap bisa dicabut saja karena kehadiran si gibung ini sudah sangat mengurangi kualitas hidup.


29 Desember 2023

Karena saya anggota BPJS, maka saya memeriksakan diri ke Faskes 1, yaitu puskesmas. Disana saya ditanya tentang keluhan yang dirasakan, yaitu 'kemunculan' gigi bungsu di rahang atas sebelah kiri yang hanya terekspos sedikit dengan posisi miring dan sakit kepala hebat yang kerap saya rasakan. Saya meminta dokter gigi untuk mencabut si gigi bungsu ini, dengan harapan sakit kepala saya akan ikut hilang.

Dokter melakukan pemeriksaan dan menolak untuk melakukan pencabutan gigi bungsu di puskesmas. Namun, beliau menyarankan saya untuk datang ke tempat praktek pribadi miliknya jika ingin melakukan pencabutan gigi bungsu. Agak aneh memang, kalau memang tidak bisa cabut gigi di puskes dengan alasan tidak sanggup, mestinya saya dirujuk ke dokter spesialis bedah mulut di RS kan? kok malah disuruh datang ke tempat praktek pribadi?. Karena penasaran, bertanyalah saya mengenai prosedur dan biayanya. Menurut beliau, sebelum datang ke tempat prakteknya saya diwajibkan untuk melakukan rontgen gigi panoramic secara mandiri dengan estimasi biaya 200 ribu, dan beliau memberikan estimasi biaya untuk pencabutan satu gigi bungsu sekitar 500 ribu rupiah atau bisa lebih tergantung tingkat kesulitan. Menurut beliau, jika saya ingin dirujuk ke RS untuk kasus gigi bungsu yang impaksi, pasti akan mengantre minimal 2 bulan karena waiting-list pasiennya selalu penuh. Wow!

Bagi kaum mendang-mending yang setiap bulan gaji suaminya dipotong untuk bayar iuran BPJS, saya tidak mau rugi dong ya. Saya pasang wajah 'berpikir' agak lama, mempertimbangkan hal ini matang-matang. Sampai akhirnya, dengan keberanian dan kesadaran penuh saya mengucapkan : "Gak apa-apa, Dok. Saya minta rujukan saja ke spesialis bedah mulut di RSUD agar lebih jelas". Dokterpun memberikan saya selembar kertas rujukan. Di titik ini saya bersyukur karena sebelumnya telah browsing mengenai penanganan gigi bungsu dan ranah spesialisasinya. Jadi tidak terkesan 'sok tahu', tapi emang memiliki pengetahuan tentang itu. Hehe...

Di hari yang sama, saya langsung melesat ke RS yang dituju. Disana mengantre cukup lama, wajar sih kan memang kesananya udah agak siang. Sayapun jadi pasien terakhir di poli bedah mulut. Disana saya bertemu dokter spesialis bedah mulut dan menceritakan keluhan saya. Beliau memeriksa keadaan mulut dan gigi saya lalu kembali ke meja, beliau memberikan rujukan untuk rontgen gigi panoramic. Saat itupun saya segera ke bagian radiologi, menyerahkan rujukan, menunggu sebentar, lalu dipanggil oleh seorang perawat perempuan. Beliau membimbing saya masuk ke area dalam radiologi, beliau bertanya beberapa hal sebelum prosedur rontgen dilakukan:

1. Apakah mengenakan (maaf) kait bra yang berbahan logam?

2. Apakah memakai perhiasan seperti anting dan bros berbahan logam?

3. Apakah mengenakan ikat rambut yang ada logamnya?

4. Apakah memakai baju dengan kancing atau ritsleting yang terbuat dari logam?

Setelah memastikan tidak ada logam yang menempel di tubuh saya, prosedur rontgen pun dimulai. singkat saja, sekitar 5-10 menit, lalu saya diminta untuk menunggu. Setelah beberapa saat saya dipanggil, namun petugas radiologi mengatakan bahwa hasilnya tidak akan terbawa hari itu juga karena belum dikonsulkan kepada dokter radiologi. Mengingat hari itu hari jumat dan sudah mepet waktu jum'atan, saya paham. Saya diminta untuk datang pekan depan untuk mengambil hasil rontgen. 


2 Januari 2024

Setelah melakukan pendaftaran di Jkn Mobile, pagi-pagi sekali saya mendatangi bagian radiologi untuk mengambil hasil rontgen gigi panoramic. Lalu mengantre di poli bedah mulut, selang beberapa pasien nama saya dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan diminta untuk menyerahkan hasil rontgen. Dokter spesialis bedah mulut langsung mengamati lembar rontgen dan berbalik menatap ke arah saya, 


Dokter Sp.BM: "Wah, gigi bungsunya ada 3. Operasi aja ya."

Tanpa tedeng aling-aling, beliau langsung menyarankan untuk operasi.

Saya: "3, dok? operasinya bius lokal kan, dok?" Tanya saya masih dengan ekspresi terkejut.

Dokter Sp.BM: "Ya bius umum dong, Teh. ini mau diambil 3 giginya biar sekalian, semoga gak sakit kepala lagi ya."

Saya: "Oh begitu ya, dok." Saya tersenyum getir.

Setelah itu dokter berbicara kepada asistennya mengenai penjadwalan operasi. Sayapun dipersilahkan untuk duduk di meja asisten dokter untuk urusan ini. 

Asisten dokter: "Jadinya operasi ya? kita lihat jadwal kosong dulu ya." Beliaupun melihat daftar pasien yang sudah terjadwal untuk 2 bulan kedepan. Beliau menawarkan tanggal 9 Januari, kalau tidak salah. Namun saya meminta untuk digeser saja ke setelah tanggal 15 dengan alasan tidak ada pendamping jika harus op di tanggal 9. Beliau paham dan menawarkan tanggal 22 Januari, hari senin. Saya setuju, mengingat di tanggal itu urusan pekerjaan suami sudah agak longgar dan sepertinya memungkinkan untuk mengambil cuti. 

Asisten dokter: "Ini kan tindakannya tanggal 22, ke RSnya tanggal 20 ya. Mulai rawat inap tanggal 20 sampai 22." 

Baru saja perasaanku lega, tiba-tiba dapat kabar mengejutkan lagi. 

Saya: "Pak, kok 3 hari? kan op nya senin, kalau saya mulai ranap minggu sore apa boleh?"

Asisten dokter: " Udah prosedurnya kaya gitu, kalau op senin masuknya sabtu pagi. Ini saya kasih pengantar untuk ke bagian laboratorium, radiologi, dan anastesi."

Selagi mengantre di laboratorium untuk pemeriksaan darah dan di bagian radiologi untuk rontgen thorax, saya tak henti mencemaskan kedua anak saya yang masih berusia 6 dan 2 tahun. Bagaimana saya bisa meninggalkan mereka selama 3 hari?. Setelah menunggu, hasil lab dan rontgen langsung saya serahkan ke bagian anastesi. Disana saya ditanyai tentang alergi obat atau makanan, lalu petugasnya memberi kartu kecil untuk saya serahkan ke bagian rawat inap yang telah tertera, tujuannya untuk booking kamar. 




20 Januari 2024

Sabtu pagi yang cerah, setelah mempacking barang dan menitipkan anak-anak kepada Mama, saya langsung ke RS ditemani suami. Kami langsung menuju nurse station di lantai rawat inap khusus bagi yang akan menjalani operasi. Saya menyerahkan kartu kecil diatas kepada perawat yang berjaga, mengisi identitas, dan beliau membimbing saya untuk memasuki kamar rawat inap yang saat itu kosong.

Rasanya aneh masuk kedalam kamar ranap sambil menenteng tas sendiri, merapikan barang bawaan ke nakas sendiri, menata meja sendiri, dan menata tempat tidur sendiri. Rasanya seperti staycation saja. Bedanya, bed pasien bisa disetting ketinggiannya pakai remote dan akan selalu didatangi perawat dan adik-adik PKL yang secara periodik memeriksa tekanan darah serta suhu tubuh. Tidak lupa ada petugas yang mengantar makanan 3 x sehari.  


 
Sabtu dan minggu RS relatif sepi, bed sebelah masih tetap kosong. Hari senin subuh, tiba-tiba suasana di luar kamar sangat ramai. Ternyata ada beberapa pasien yang baru tiba, salah satunya mengisi bed kosong di sebelah saya. Senin subuh seorang perawat mengecek tensi dan memberitahu bahwa sebentar lagi saya akan diinfus. Saya mohon izin agar dapat shalat subuh dan mandi dulu. Sekitar pukul 5.30, infus dipasang dan perawat bilang agar saya bersiap karena kemungkinan pada pukul 10 pagi akan masuk ruang operasi. Suami saya suruh pulang dulu agar bisa sarapan dan mengantar si sulung ke sekolah. 

Sekitar pukul 9 pagi, perawat datang dan menginformasikan bahwa ruang operasi sudah siap. Saya disuruh duduk di kursi roda, padahal saya ingin nawar agar berjalan normal saja karena rasanya risih. Saking gugupnya saya menuruti saja instruksi suster itu. Ketika saya sampai di lantai dasar, lift terbuka. Betapa kagetnya saya saat mendapati suami dan mertua saya di balik pintu lift. Merekapun tidak jadi naik ke atas dan langsung menggantikan perawat mnendorong kursi roda sampai ke depan ruang operasi. 

Sayapun masuk kedalam ruang op, diberi baju khusus operasi yang mana saya tidak boleh memakai pakaian apapun selain kostum operasi. Aduuuh malunya. Setelah itu saya dibimbing perawat untuk tiduran di atas meja operasi, di sebelah saya ada satu pasien yang sudah terbaring dan sedang 'dieksekusi'. Perawat (atau dokter ya?) menanyakan apakah saya memiliki riwayat penyakit kronis dan apakah saya memiliki alergi obat atau makanan? saya jawab ya, saya alergi seafood. Setelah itu dokter mulai mengajak saya ngobrol dan mengintruksikan untuk membaca doa, tangannya dengan lihai menyuntikkan sesuatu kedalam selang infus. Saya tau, itu adalah obat bius. Selagi menunggu obat bius bereaksi, saya terus bersyahadat dalam hati. Membayangkan jika ini kali terakhir saya dapat membuka mata, maka ucapan syahadat itulah kalimat terakhir yang saya ucapkan dan yakini. 


------
Saya: "Kerudung, mana kerudung?"


------
Saya: "Ma, haus...."


------
Saya: "hueeek.... hueeeek...."Saya merasa sangat mual, antara sadar dan tidak saya memiringkan tubuh ke kanan dan muntah darah di bed. Banyak sekali. 


------
Sayup-sayup kudengar suara adzan. 
Saya: "Ma, mama gak shalat?"
Mama: "Iya, Mama mau shalat."
Saya: "Saya juga mau shalat, tapi shalat apa?"
Mama: "sekarang shalat ashar, nanti Cici shalatnya di kasur aja ya. Itu pipinya masih bengkak, sakit ya? insyaaAllah nanti gak sakit lagi, penyakitnya udah dibuang."

Dengan ksadaran yang belum terkumpul penuh, saya meraba pipi yang memang bengkak. Saya sentuh gusi menggunakan lidah, ternyata ada 3 titik yang dijahit. Ngilu tapi tidak sakit. Sepertinya karena masih dibawah pengaruh obat bius. sayapun mencoba duduk dan berniat untuk mengambil wudhu, tapi baru juga duduk, rasa mual yang hebat menyerbu. Saya muntah lagi. Saya pingsan lagi.

Ketika langit di balik jendela sudah semakin keemasan, saya terbangun. Teringat belum shalat dzuhur dan ashar. Beberapa kali mencoba duduk, namun rasa mual itu selalu datang dan berakhir dengan saya yang kembali pingsan. Meski bukan pingsan yang lama, kali ini seperti terlelap sejenak namun langsung masuk fase deep sleep. Akhirnya, shalat sambil berbaring karena takut muntah lagi kalau memaksakan posisi duduk.

Petugas pengantar makanan datang, membawa beberapa sachet susu bubuk yang akan menjadi minuman sekaligus makanan saya selama sisa perawatan. Oh iya, sebelum operasi saya diwajibkan untuk berpuasa dimulai dari jam 10 malam di hari minggu. 

Setelah operasi saya tidak dperbolehkan sikat gigi selama 2-3 hari kalau tidak salah, dan hanya boleh makan makanan lembek selama seminggu. Di hari ke-3 pasca op saya memberanikan diri untuk gosok gigi, dan.... berdarah. Mungkin menyenggol jahitan di gusi. Lagipun saya dilarang untuk berkumur dan dilarang minum lewat sedotan, mungkin khawatir gumpalan darah beku di gusinya hilang dan mengakibatkan dry socket. 

Hari selasa pagi saya sudah boleh pulang, dan sampai beberapa hari kedepan saya terus menjadi orang yang ngantukan. Baru bersandar dikit, ngantuk. Baru rebah sebentar, ketiduran. Lalu bagaimana kondisi gigi, gusi, dan mulut saya pasca operasi odontektomi? Jawabannya: tidak sakit, justru lebih dominan rasa ngilu. Saya disarankan untuk berkumur menggunakan betadine gargle untuk meminimalisir risiko infeksi. 

Seminggu kemudian saya kontrol ke RS sekaligus buka jahitan. Asisten dokter yang memeriksa saya bilang kalau pemulihannya cukup bagus. Ada 2 hal yang saya khawatirkan pasca op odontektomi dan wajib ditanyakan saat kontrol:
1. Apakah terjadi infeksi?
2. Apakah terjadi dry socket?, alias kondisi nyeri yang terjadi setelah pencabutan gigi, dimana gumpalan darah yang seharusnya melindungi tulang dan saraf di soket gigi hilang atau tidak terbentuk dengan baik. 


Jika disederhanakan, sesuai pengalaman saya maka alurnya adalah:


FASKES 1 (daftar dulu di Jkn Mobile) → (jika faskes 1 tidak sanggup) RUJUKAN KE DOKTER SPESIALIS BEDAH MULUT → DATANG KE POLI BEDAH MULUT (sebelumnya pastikan sudah daftar di app Jkn Mobile) →DOKTER AKAN BERI PENGANTAR RONTGEN GIGI PANORAMIC → HASIL RONTGEN DIBACA DOKTER SP.BM → JIKA PERLU TINDAKAN OPERASI, DOKTER AKAN MENJADWALKAN, DAN MEMBERI PENGANTAR UNTUK PEMERIKSAAN LAB, RONTGEN THORAX → HASIL LAB & RONTGEN DISERAHKAN PADA BAGIAN ANESTESI → BAGIAN ANESTESI AKAN MEMBERI PENGANTAR UNTUK BOOKING KAMAR RAWAT INAP → OPERASI → KONTROL PASCA OPERASI (daftar dulu di Jkn Mobile).

Namun alur ini bisa saja berbeda tergantung regulasi yang berlaku. 

Semoga sehat selalu, ya! Jangan takut untuk memeriksakan gigi bungsu, karena setelah gibung saya 'dieksekusi'  Alhamdulillah tidak pernah merasakan sakit kepala hebat lagi. 



-Ibu. 

Komentar